PONTIANAK, 25 Oktober 2025 — Sudah lebih dari tujuh tahun lamanya proses penyelesaian warisan dari almarhum M.U.S. dan almarhumah S.H. terperangkap dalam pusaran konflik internal keluarga dan kebuntuan birokrasi. Gugatan yang diajukan oleh salah satu ahli waris, J.H., terhadap salah satu saudara kandungnya, A.S.W., telah menjadi potret buram bagaimana ketidakooperatifan satu pihak dan kelambanan institusi hukum mampu mengabaikan kewajiban sekaligus menelantarkan tanggung jawab agama dan hukum yang semestinya disegerakan.
Dua orang pewaris, M.U.S. bin S. dan S.H. binti A., telah wafat masing-masing pada tahun 2011 dan 2010 dengan meninggalkan enam orang anak: A.S.W., N.H., J.H., F.K., D.R., dan N.R. — yang terakhir merupakan anak adopsi namun secara moral telah diterima dan diperlakukan setara dengan saudara kandung, sebagaimana telah diakui secara lisan dan tertulis oleh para ahli waris lainnya.
Harta peninggalan utama berupa sebidang tanah dan bangunan di kawasan Jl. P.C., Gg. C.J. No. 4, Kota Pontianak, telah menjadi sumber utama kisruh keluarga. Sertifikat Hak Milik No. 2012, seluas 361 meter persegi, menjadi pusat konflik setelah proses pembagian waris yang seharusnya mudah dan normatif terhambat hanya karena masalah administratif: penolakan A.S.W. untuk menyerahkan identitas diri sebagai syarat mutlak pembuatan Akta Penetapan Waris dan Akta Pembagian Waris di Pengadilan Agama.
Sejak 8 Mei 2017, A.S.W. menutup diri dan menolak secara terang-terangan untuk menyerahkan salinan kartu identitasnya tanpa penjelasan jelas. Berbagai upaya persuasif dilakukan oleh J.H., baik secara pribadi maupun melalui perantara saudara lain, termasuk N.R., namun hasilnya nihil. Dokumen krusial yang seharusnya hanya tinggal dikumpulkan mengalami kebuntuan, dan seluruh proses pun terhenti tanpa kemajuan berarti hingga bertahun-tahun selepas wafatnya para orang tua mereka.
Frustrasi atas situasi yang tidak berujung ini mendorong J.H. mengambil langkah hukum. Dia mengumpulkan surat kuasa bermeterai dari saudara-saudaranya: N.H., F.K., dan D.R., serta N.R. sendiri, yang juga telah menerima pernyataan resmi dari J.H. dan F.K. yang menyerahkan masing-masing 30% porsi hak waris mereka kepada N.R., sebagai bentuk kasih sayang dan tanggung jawab moral. Surat pernyataan tersebut telah diserahkan secara langsung oleh F.K. kepada N.R. di Kota Pontianak.
Sebaliknya, A.S.W. tetap bergeming, bahkan menolak untuk turut menandatangani surat kuasa demi memperlancar pengurusan hukum. Lebih parah, penolakan ini tidak disertai argumentasi yang jelas, yang pada akhirnya menjadi penghambat utama seluruh proses peradilan.
Langkah resmi pertama dilakukan oleh J.H. pada 26 Februari 2018, dengan mengirimkan surat resmi kepada Pengadilan Agama Kota Pontianak, bermaksud meminta keputusan penetapan waris meski satu pihak tidak kooperatif. Surat bernomor 001/SK/WARIS/II/2018 tersebut tidak mendapatkan tanggapan apa pun, tak ada konfirmasi, tak ada klarifikasi, tak ada upaya mediasi. Diam.
Setelah bertahun-tahun dipaksa menunggu tanpa kepastian, J.H. kembali meningkatkan eskalasi dengan melayangkan gugatan waris resmi ke Ketua Pengadilan Agama Kota Pontianak pada tanggal 24 Maret 2025 melalui surat bernomor 007/JH/AW/PAP/II/2025. Surat gugatan itu didukung dokumen lengkap serta surat kuasa dari para ahli waris yang sah. Bukti penerimaan oleh ekspedisi pada 24 April 2025 menegaskan bahwa surat telah resmi diterima oleh pihak pengadilan.
Namun, dua bulan setelahnya, ulang cerita yang sama terulang kembali — tidak ada respons. Dalam upaya mencari kejelasan, F.K. dikirim mendatangi kantor Pengadilan Agama pada 2 Juni 2025. Di sana, ia bertemu dengan seorang petugas informasi bernama S., yang justru membuat kebingungan baru. S. terbukti belum membaca gugatan, bahkan menyatakan tidak bisa menghadirkan A.S.W. tanpa memahami dasar masalah yang menjadi substansi gugatan.
Komunikasi antara J.H. dan S. pun dibuka lewat sambungan telepon melalui perangkat milik F.K., namun lagi-lagi tak membuahkan hasil. Meski sempat diminta mengirimkan kembali salinan gugatan dalam bentuk PDF dan tangkapan layar, hingga 29 Juni 2025, tidak ada kejelasan lanjutan yang diterima J.H. Bahkan pesan melalui WhatsApp yang dikirimkan kepada S. hanya dibaca tanpa balasan, seolah-olah seluruh proses hukum adalah persoalan sepele bagi lembaga yang seharusnya menjadi penjaga hukum waris Islam di wilayah ini.
Kritik terhadap kinerja lembaga pun mencuat. Daripada difasilitasi secara prosedural dengan pendekatan mediasi sebagai opsi awal, justru para petugas mengarahkan untuk menggunakan jasa pengacara — sebuah pilihan yang justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat biasa. Di tengah keputusasaan, J.H. menyatakan akan menggandeng Ombudsman RI Wilayah Kalimantan Barat untuk membongkar kasus yang telah menjelma menjadi potret kebobrokan pelayanan publik di ranah keagamaan dan hukum.
J.H., yang sedari awal memilih jalur musyawarah dan penyelesaian santun, kini berada pada tahap final perjuangan — menempuh jalur hukum dengan menggandeng penasihat hukum. Ia menyatakan kesediaannya untuk menanggung sendiri biaya proses tersebut, demi menyelesaikan kewajibannya menyerahkan bagian waris yang telah diniatkan kepada N.R., dan demi menyudahi pertikaian administratif yang seharusnya bisa selesai sejak tujuh tahun silam.
Lebih dari sekadar perkara warisan, ini adalah soal tanggung jawab moral. A.S.W., sebagai anak tertua, seharusnya menjadi teladan tanggung jawab dan pemersatu keluarga. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Keengganan menyerahkan identitas, tanpa alasan, tanpa klarifikasi, telah merugikan seluruh pihak, terutama ahli waris lain yang niatnya tulus hendak menyelesaikan kewajiban syariat dan hukum negara.
Berlarutnya perkara ini adalah alarm bagi siapa pun yang menganggap harta waris bisa ditunda pengurusannya atau diseret dalam ego. Bukan hanya terjadi stagnasi aset, namun konflik ini membuka potensi celaka yang jauh lebih besar — perpecahan keluarga berkepanjangan, gugatan silang generasi, hingga warisan tidak hanya berupa rumah, tetapi juga masalah tak selesai.
Di tengah kelambanan lembaga, ketidakpedulian petugas, dan tindakan pasif dari salah satu ahli waris, muncul satu pertanyaan tegas: apakah kita masih bisa mempercayai sistem? Jika surat yang dikirim sejak tahun 2018 belum dibaca; jika komunikasi sejak April 2025 dibiarkan menggantung; jika sidang pun belum diagendakan dan mediasi awal tak kunjung datang; maka harus kita akui, sistem pelayanan kita sedang berada dalam titik nadir.
Kisah ini bukan sekadar tentang pembagian aset, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kekeluargaan, dan tuli bisu dari mereka yang bersumpah menjunjung tinggi keadilan.
Dan bila tidak diambil alih dengan nalar yang benar dan iman yang lurus, maka kelak anak-cucu dari para pewaris mungkin hanya akan mewarisi satu hal: kekecewaan.
J.H., di ujung perjuangannya, hanya berharap agar takdir akhirnya memihak kepada mereka yang konsisten dalam ikhtiar. Perkara ini adalah bukti sahih dan dokumentasi konkret, bahwa satu orang yang keras kepala cukup untuk melumpuhkan niat baik seluruh keluarga, dibantu oleh sistem yang tidak bekerja sesuai amanat konstitusi maupun agama.
Biarlah semua ini menjadi catatan terbuka untuk generasi seterusnya: jangan diam jika hak diinjak, jangan pasrah jika tanggung jawab dilalaikan, dan jangan pernah percaya bahwa keadilan akan datang dengan sendirinya.
Karena di negeri ini, bahkan untuk mendapatkan hakmu sebagai anak kandung pun, kau harus berperang — dengan sistem, dengan birokrasi, dan kadang, dengan saudaramu sendiri. (TIM)



















